Alun-Alun Majalengka: Mengenal Sejarah Maja Langka, Media Lengka dan Madia Langka

Alun-Alun Majalengka: Mengenal Sejarah Maja Langka, Media Lengka dan Madia Langka

Konsep baru Alun-alun Majalengka akhirnya terungkap. Pemerintah Kabupaten Majalengka memilih untuk menjadikan Alun-alun sebagai wahana wisata religius. Alun-alun pasca pembenahan akan dialihfungsikan sepenuhnya menjadi arena publik dan taman yang bisa dinikmati dan diakses seluruh warga. Asisten Daerah Bidang Pembangunan Drs H Abdul Gani MSi menjelaskan, penataaan Alun-alun Majalengka akan dilakukan melalui bantuan provinsi sebesar Rp18 miliar. Saat ini konsep arsitektur sedang dibahas dan dirancang oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Pemkab sendiri ingin menjadikan alun-alun sebagai wahana wisata religi di pusat kota. “Pak gubernur tidak main-main dalam mendorong pertumbuhan pariwisata di daerah. Termasuk di Majalengka. Ada beberapa perhatian di antaranya penataan alun-alun sebesar Rp18 miliar. Kita akan dorong agar konsepnya bertemakan Kabupaten Majalengka sebagai daerah religius. Manti ada taman wahana yang bertema itu,” katanya.     Jika dibandingkan dengan daerah lain di Jawa Barat seperti Bogor, Bandung, dan Cirebon, kabupaten ini kurang populer. Kota ini bukanlah kota tujuan mencari pekerjaan. Bukan pula kota yang hiruk-pikuk dengan kegiatan ekonomi dan bukan pusat gaya hidup. Majalengka bahkan kalah terkenal oleh Jatiwangi, salah satu kecamatannya, penghasil genteng yang sohor itu. Bagaimana kabupaten ini bermula? Ada banyak versi terkait asal usul penamaan Majalengka. N. Kartika dalam Sejarah Majalengka: Sindangkasih, Maja, Majalengka (2007), setidaknya menuliskan tiga versi. Pertama, dari kata “Maja Langka” (bahasa Jawa) yang artinya “Maja Tidak Ada”. Alkisah, antara tahun 1552-1570, Cirebon yang saat itu dipimpin oleh Syarif Hidayatullah terserang penyakit demam yang amat hebat. Syarif mengutus anaknya, Pangeran Muhammad, untuk mencari pohon maja ke daerah Sindangkasih yang dipercaya dapat menyembuhkan demam yang tengah diderita rakyatnya. Penguasa Sindangkasih, Nyi Rambutkasih yang beragama Hindu, tidak sudi jika wilayahnya diinjak oleh orang-orang yang memeluk Islam. Sebelum Pengeran, Muhammad dan rombongannya tiba di Sindangkasih, hutan yang semula dipenuhi pohon maja bersalin rupa menjadi hutan sangat lebat, tak menyisakan satu batang pun pohon maja. Saat mengetahui bahwa pohon maja tidak ada, maka Pangeran Muhammad berkata, “Maja Langka.” Kedua, “Media Lengka” yang artinya “di tengah-tengah eling (ingat) kepada asal permulaan”. Versi ini mengisahkan tentang anak-anak raja Kerajaan Galuh yang berbeda agama dan saling mempertahankan agamanya. Diceritakan bahwa anak tertua raja masuk Islam dan menjadi murid Sunan Gunung Jati, Cirebon. Anak tertua ini kemudian diutus oleh Sunan Gunung Jati untuk menyebarkan agama Islam, termasuk kewajiban mengajak adiknya untuk masuk Islam. Namun, sang adik menolak ajakan tersebut dan mereka pun bertengkar. Sebelum pertengkaran berubah menjadi kelahi dan sabung nyawa, mereka buru-buru menyadari bahwa persaudaraan lebih utama daripada memaksakan agama. Sambil berpisah, masing-masing mereka berkata, “Media Lengka.” Ketiga, “Madia Langka” yang berarti “antara ada dan tiada”. Versi ini menceritakan asal-usul nama Majalengka dari periode Kerajaan Mataram Islam. Pengaruh kerajaan ini dikisahkan mulai merangsek ke arah barat pulau Jawa, termasuk ke sebuah daerah yang sekarang bernama Majalengka, tapi pemimpinnya yang bernama Sunan Jebug tak mau tunduk. Hal ini tentu membuat Sultan Agung marah dan segera mengirim empat puluh orang hulubalang untuk merebut daerah Sultan Jebug. Mengetahui akan diserang, Sultan Jebug beserta senopatinya yang bernama Endang Capang memutuskan untuk pergi dan hanya meninggalkan petilasan, demi menghindari pertumpahan darah. Saat para hulubalang utusan Sultan Agung tiba di daerah Sultan Jebug, mereka tak menemukan orang yang dimaksud, sehingga salah satu hulubalang itu berseru, “Madia Langka.” “Dikatakan tidak ada karena tidak sampai ditemukan, dikatakan ada karena ada (patilasan) bekas-bekas peninggalannya. Demikianlah dari ‘Madia Langka’ berubah menjadi Majalengka,” tulis Kartika mengutip dari Milangkala 512 Majalengka. Pembangunan Infrastruktur Dalam sejarah Majalengka sebagai sebuah kota, pembangunan infrastruktur tentu telah dilakukan sejak tempo dulu, meski memang kurang ada gaungnya karena bukan infrastruktur bertaraf internasional. Jalan Raya Pos yang dibangun Daendels membentang dari Anyer sampai Panarukan. Majalengka adalah salah satu kabupaten yang terlewati oleh proyek yang banyak memakan korban tersebut. Tahun 1867, Majalengka, yang saat itu salah satu afdeling dari Karesidenan Cirebon, memekarkan wilayahnya menjadi lima distrik dengan hadirnya distrik Jatiwangi karena di daerah tersebut terdapat perkebunan, pabrik gula, dan lain-lain. Penambahan distrik baru ini tentu didukung oleh pembangunan sarana infrastuktur. “Pembangunan berbagai sarana fisik yang ada di Kabupaten Majalengka di antaranya jalan raya. Selain itu, jaringan jalan trem bermesin uap (kereta api kecil),” tulis Kartika. Warsa 1900-an, perusahaan kereta api yang mengelola jalur Semarang-Cirebon diberikan izin untuk membangun dan mengeksploitasi jalur Cirebon-Kadipaten. Hal ini karena di sejumlah daerah di Majalengka terdapat pabrik gula yang cukup besar dan ada beberapa perkebunan yang komoditasnya mesti diangkut secara cepat. Pada 1928, Rumah Sakit Cideres atau yang semula bernama Zending Hospital Tjideres diresmikan. Inilah sarana pelayanan kesehatan pertama bagi masyarakat Majalengka. Dan rumah sakit umum kedua baru dibangun pada tahun 1940-an. Seperti pembangunan infrastruktur yang telah disebutkan di atas, pembangunan-pembangunan sarana lainnya terus dikerjakan di Majalengka dan tanpa ada pemberitaan berarti. Sampai akhirnya Tol Cipali, Tol Cisumdawu, dan Bandara Kertajati yang beberapa tahun terlantar digeber pembangunannya oleh Jokowi. Majalengka, kota kecil di timur Bandung yang sebelumnya nyaris tak pernah menghiasi ruang-ruang pemberitaan, mulai hari ini akan menghadapi takdirnya yang baru sebagai kota yang disinggahi banyak orang. Tentu perubahan ini akan disertai oleh perkembangan ekonomi, juga risiko-risiko lain seperti kebisingan, pertambahan penduduk, kriminalitas, yang tak semuanya menyenangkan. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: